Nabi Muhammad Memohonkan Syafaat Untuk Seluruh Umat

Nabi Muhammad Memohonkan Syafaat Untuk Seluruh Umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Saya adalah pemimpin semua orang pada hari kiamat. Tahukah kalian sebabnya apa? Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang akhir di suatu dataran tinggi. Mereka dapat dilihat oleh orang yang melihat dan dapat mendengar orang yang memanggil. Matahari dekat sekali dari mereka. Semua orang mengalami kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak mampu memikulnya. Lantas orang-orang berkata, ‘Apakah kalian tidak tahu sampai sejauh mana yang kalian alami ini? Apakah kalian tidak memikirkan siapa yang dapat memohonkan syafaat kepada Rabb untuk kalian?’ Lantas sebagian orang berkata kepada sebagian lain, ‘Ayah kalian semua, Nabi Adam ‘alaihissalam’. Mereka pun mendatangi beliau, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Adam! Engkau adalah ayah semua manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakanmu dengan kekuasaan-Nya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam tubuhmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kepada malaikat untuk bersujud, sehingga mereka pun bersujud kepadamu. Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tempat tinggal kepadamu di surga. Sudilah kiranya engkau memohonkan syafaat kepada Rabbmu untuk kami? Bukankah engkau tahu apa yang kami alami dan sampai sejauh apa menimpa kami?’ Nabi Adam ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, Dia melarangku akan suatu pohon, tetapi saya berbuat maksiat. Diriku, diriku, diriku. Pergilah ke selain aku. Pergilah kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam’. Lantas mereka mendatangi Nabi Nuh ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nuh! Engkaulah Rasul pertama di muka bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebut dirimu hamba yang banyak bersyukur. Bukankah engkau mengetahui apa yang sedang kita alami sekarang? Sudilah kiranya engkau memohonkan syafaat kepada Rabbmu untuk kami?’ Nabi Nuh ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, saya mempunyai suatu dosa mustajab yang telah saya gunakan untuk mendoakan kebinasaan pada kaumku. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam’. Kemudian mereka pun mendatangi Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, lalu mereka bertanya, ‘Wahai Ibrahim! Engkau adalah Nabi Allah dan kekasih Allah di antara penduduk bumi. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kami. Bukankah engkau telah mengetahui keadaan yang sedang kami alami?’ Lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sesungguhnya saya pernah berdusta sebanyak tiga kali. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Musa ‘alaihissalam’. Selanjutnya mereka mendatangi Nabi Musa ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Musa! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi keutamaan kepadamu dengan kerasulan dan kalam-Nya yang melebihi orang lain. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas Nabi Musa ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya. Sungguh, saya pernah membunuh seorang manusia padahal saya tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Isa ‘alaihissalam’. Setalah itu, mereka pun mendatangi Nabi Isa ‘alaihissalam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Nabi Isa! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya. Engkau dapat berbicara dengan orang-orang ketika masih dalam buaian. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas Nabi Isa ‘alaihissalam menjawab, ‘Sungguh, hari ini Rabbku sangat murka. Belum pernah Dia murka seperti ini sebelumnya dan Dia tidak akan murka seperti ini lagi setelahnya.’ Nabi Isa tidak menyebutkan dosa yang diperbuatnya. ‘Diriku, diriku, diriku, pergilah ke selain aku. Pergilah pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Lalu mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka berkata, ‘Wahai Muhammad! Engkau adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penutup para nabi. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang. Mohonkanlah syafaat kepada Rabbmu untuk kita. Bukankah engkau mengetahui keadaan yang sedang kita alami?’ Lantas saya berangkat hingga saya sampai di bawah Arsy. Kemudian saya bersujud kepada Rabbku. Lantas Allah Subhanahu wa Ta’ala ajarkan padaku pujian-pujian kepada-Nya serta keindahan sanjungan terhadap-Nya yang belum pernah Dia ajarkan kepada selain diriku. Lalu dikatakan, ‘Wahai Muhammad! Angkatlah kepadamu. Ajukanlah permohonan, niscaya permohonanmu dikabulkan. Mohonlah syafaat, pastilah akan diterima syafaatmu.’ Selanjutnya aku mengangkat kepalaku, lalu saya berkata, ‘Ummatku, wahai Rabbku, umatku wahai Rabbku, ummatku wahai Rabbku!’ Lantas dikatakan, ‘Wahai Muhammad! Masukkanlah umatmu yang tidak peru dihisab dari pintu surga ke sebelah kanan. Mereka juga sama dengan orang-orang lain di selain pintu tersebut.’ Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang mengauasai diriku, sesungguhnya jarak anara dua daun pintu dari beberapa daun pintu surga sama dengan jarak antara Mekah dan Hajar atau antara Mekah dan Bushra’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1

Kisah Hikmah Islami Hasudnya Mencelakakan Dirinya Sendiri

Kisah Hikmah Islami Hasudnya Mencelakakan Dirinya Sendiri Ada seorang saleh yang mempunyai kedekatan dengan seorang raja. Hampir setiap hari ia datang ke istana untuk memberikan nasehat-nasehat kepada sang Raja, yang tidak pernah bosan mendengarkan walau terkadang ia mengulang beberapa kali nasehatnya tersebut. Hal ini bisa terjadi karena ia memang sangat tulus ikhlas, tidak ada pretensi (pamrih) apapun, khususnya keduniaan. Salah satu nasehat yang sering diulang-ulangnya adalah, “Berbuatlah kebaikan kepada orang yang berakhlak baik, karena orang yang berbuat dan berakhlak jahat akan binasa oleh kejahatannya sendiri!!” Ternyata ada orang yang tidak suka, bahkan hasud dengan kedekatannya dengan sang raja. Ia selalu mencari jalan bagaimana bisa memisahkan orang saleh tersebut dengan raja, bahkan kalau mungkin membinasakannya. Setelah menyusun rencana yang matang, ia datang menghadap raja dan berkata, “Wahai sang raja, sesungguhnya orang saleh yang selalu mendatangi engkau itu mengatakan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa bau mulutmu sangat busuk!!” “Apa benar seperti itu?” Tanya sang raja, setengah tidak percaya. Lelaki penghasud itu berkata lagi, “Kalau tuan raja tidak percaya, jika besok ia menghadap kesini, perintahkanlah ia untuk mendekat, niscaya ia akan menutup hidung dan mulutnya!!” Sepertinya sang raja termakan oleh hasudannya, dan berkata, “Pulanglah engkau, aku akan mengecek kebenaran ucapanmu itu!!” Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke istana raja, orang saleh tersebut diundang ke rumah si lelaki penghasud. Setelah memberikan nasehat-nasehat yang diminta, orang saleh itu disuguhi hidangan dan dipersilahkan memakannya. Ternyata si penghasud telah membubuhkan banyak sekali bawang putih dalam masakan tersebut, sehingga mulut si orang saleh itu berbau tidak sedap, bau bawang putih yang menyengat. Orang saleh itu segera berpamitan karena ia mempunyai janji untuk menemui raja setiap harinya. Ia tidak punya waktu untuk bisa menghilangkan bau mulutnya itu, dan menghadap raja dalam keadaan seperti itu. Ketika ia bersiap menyampaikan nasehat-nasehat, tidak seperti biasanya tiba-tiba sang raja memanggilnya mendekat untuk duduk berhadapan, tetapi hal itu telah diperhitungkan dengan matang oleh sang penghasud. Karena takut bau mulutnya akan mengganggu sang raja, ia menutup mulutnya, bahkan sambil memberikan nasehatnya, ia tetap menutup mulutnya dengan tangannya. Melihat sikap orang saleh tersebut, raja jadi membenarkan ‘laporan’ dari lelaki penghasud. Sebelum pulang, sang raja menulis surat pada salah seorang pembesarnya yang juga salah seorang algojonya. Raja berkata dalam suratnya itu, “Jika surat ini telah engkau terima, hendaklah engkau membunuh dan menguliti pembawa surat ini!! Setelah itu hendaknya engkau kirimkan lagi kepadaku, kepala dan kulitnya sebagai bukti engkau telah melaksanakan tugas!!” Setelah diberi amplop tertutup dan disegel dengan cap kerajaan, surat itu diserahkan kepada orang saleh itu dan diperintahkan untuk membawanya kepada pembesarnya di suatu tempat. Orang saleh itu menerima surat itu tanpa curiga sama sekali, dan segera berangkat menuju tempat yang diperintahkan. Lelaki penghasud yang masih terus mengikuti dan mengawasinya terkejut ketika melihat ia masih hidup, bahkan membawa surat dengan amplop khusus dari sang raja. Orang yang memperoleh amplop seperti itu biasanya memperoleh hadiah dan pemberian yang sangat berharga dari raja. Karena memang mempunyai sifat dan watak hasud (sifat iri dan tidak senang jika orang lain mendapat kenikmatan, dan menginginkan hilangnya kenikmatan tersebut), ia menghampiri orang saleh itu dan berkata, “Apakah surat itu?” Orang saleh itu berkata, “Surat ini ditulis sendiri oleh raja, dan aku diperintahkan untuk mengantarkannya!!” “Berikanlah kepadaku!!” Kata si penghasud itu. Orang saleh itu mencoba bertahan bahwa itu adalah tugasnya, tetapi si penghasud memaksa, sehingga ia menyerahkan surat itu kepadanya. Si penghasud segera berlalu menuju tempat tinggal pembesar yang ditunjukkan. Setelah menyerahkan surat tersebut, ia menunggu dengan gembira dan menebak-nebak, hadiah apa yang akan diterimanya. Tetapi tanpa disangka-sangka, pembesar itu memerintahkan para prajurit untuk menangkap dan mengikatnya, sambil berkata, “Dalam surat ini, raja memerintahkan untuk membunuh orang yang membawa surat ini, kemudian memenggal dan mengulitinya!!” Seketika pucat pasi wajah si penghasud itu, ia berusaha berontak dan berkata, “Sesungguhnya surat itu bukan untukku. Ijinkanlah aku untuk menghadap dan menyampaikan hal ini pada raja!!” Sang pembesar tidak menghiraukan ucapannya, pemberontakannya hanya sia-sia belaka karena para prajurit itu begitu kuat memeganginya. Sang pembesar berkata, “Surat raja tidak bisa dibantah, dan perintah raja harus segera dilaksanakan!!” Ia segera disembelih, dipancung kepalanya dan dikuliti kemudian dikirimkan ke raja. Ketika raja menerimanya, ia terkejut karena bukan kepala orang saleh itu. Ia memerintahkan prajurit untuk mendatangkan orang saleh itu ke hadapannya. Ketika telah ia tiba dan ia sama sekali tidak tahu bahwa si penghasud telah mati dipancung, sang raja berkata, “Mengapa engkau tidak mengantarkan sendiri surat itu seperti perintahku?? Orang saleh itu menceritakan semua yang dialaminya, dan meminta maaf atas keteledorannya sehingga menyerahkan surat itu pada orang lain. Raja berkata lagi, “Benarkah engkau berkata kepada orang-orang bahwa bau mulutku sangat busuk??” “Astaghfirullah, tidak benar seperti itu, wahai raja!!” “Tetapi mengapa engkau menutup mulutmu ketika engkau kuperintahkan mendekat kepadaku!!” Orang saleh itu menceritakan peristiwa yang dialaminya sebelum ia menghadap raja pagi hari itu. Raja mengangguk-anggukan kepalanya mulai mengerti duduk perkaranya, kemudian ia berkata, “Benar sekali ajaran dan nasehatmu, orang jahat itu akan binasa karena kejahatannya sendiri!!”

Kisah Hikmah Islami Berkah Istiqomah Di Bulan Rajab

Kisah Hikmah Islami Berkah Istiqomah Di Bulan Rajab Ada seorang wanita yang tinggal di sekitar Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis), ia mempunyai kebiasaan (amalan) unik. Jika datang Bulan Rajab, salah satu dari bulan yang dimuliakan Allah seperti disitir dalam QS At Taubah ayat 36, ia i’tikaf di Masjidil Aqsha dengan memakai pakaian (selimut) bulu, pakaian paling sederhana saat itu, dan ia membaca dzikr surat al Ikhlas (Qul huwallahu ahad, dst…) sebanyak 12.000 kali. Ia tidak pernah meninggalkan kebiasaan amalannya itu setiap kali Bulan Rajab datang, hingga kematian menjemputnya. Bulan Rajab memang bulan yang penuh keberkahan. Nabi SAW pernah bersabda, bahwa Bulan Rajab adalah Bulan Allah, Bulan Sya’ban adalah Bulanku (Bulan Nabi SAW), dan Bulan Ramadhan adalah Bulan Umatku (Umat Nabi SAW, umat Islam). Setiap memasuki Bulan Rajab, beliau juga mengajarkan doa kepada para sahabat, yaitu : “Allahumma baariklanaa fii rajaaba, wa sya’baana, wa ballighnaa romadhoon.” Makna dari doa tersebut adalah : Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami pada bulan Rajab ini, juga pada Bulan Sya’ban, dan sampaikanlah (panjangkanlah umur) kami kepada Bulan Romadhon. Mungkin karena ingin menghormati, sekaligus ‘memancing’ barakah dari Bulan Rajab itu, wanita tersebut menjalankan amalan dzikrnya tersebut secara istiqomah, walaupun tidak ada tuntunan khusus dari Rasulullah SAW atau para sahabat lainnya. Soal ibadah yang bernama dzikr ini, menurut pendapat mayoritas ulama, memang tidak ada tuntunan khusus seperti halnya ibadah shalat, puasa, wudhu dan lain-lainnya. Setiap orang bisa mengamalkan dzikr kapan saja, dimana saja dan sebanyak apa, sesuai dengan keadaan dan kemampuannya, tidak ada batasan khusus. Perintah Al Qur’an dalam berdzikr hanya bersifat global : Yaa ayyuhal ladziina aamanudzkurullaaha dzikran katsiiran, wa sabbikhuuhu bukratan wa ashiilaa. Hanya saja para ulama menggaris-bawahi, bacaan yang dibaca dalam dzikr itu sebaiknya adalah ayat-ayat (surat) Al Qur’an, kalimat-kalimat thayyibah yang diajarkan Rasulullah SAW, shalawat, dan doa-doa. Nabi SAW memang mengajarkan dzikr khusus pada beberapa momen tertentu, seperti misalnya setelah shalat lima waktu, pada waktu pagi dan sore, dan lain-lainnya, tetapi tidak bersifat wajib, tetapi hanya sunnah saja. Tidak ada penjelasan pasti bagaimana wanita di Masjidil Aqsha itu menjalankan dzikrnya yang 12.000 surat al Ikhlas itu. Kelihatannya cukup berat, tetapi sebenarnya tidak seperti itu, karena surat al Ikhlas sangat pendek dan mudah dihafalkan. Kalau dijalankan selama sebulan (asumsi sebanyak 30 hari), sebenarnya tidaklah terlalu berat. Duabelas ribu kali, berarti 400 kali per harinya, kalau dibaca setelah shalat lima waktu, berarti 80 kali, dan itu tidak sampai sepuluh menit jika dibaca tartil (tidak terlalu cepat atau lambat). Ketika usianya makin tua dan ia merasa ajalnya makin dekat, wanita itu berwasiat kepada anak lelakinya, agar nantinya ia dikafani dengan selimut bulu yang biasa dipergunakannya untuk i’tikaf di Baitul Maqdis dan berdzikr dengan surat al Ikhlas pada Bulan Rajab itu. Atau paling tidak, selimut bulu itu disertakan (ikut dikuburkan) ketika ia dimakamkan. Ketika wanita itu meninggal, anak lelakinya itu malu untuk mengkafaninya dengan selimut (pakaian) bulu itu, yang keadaannya sudah tua dan kumal, apalagi ia termasuk orang yang berkecukupan. Ia membeli kain yang berkualitas bagus dan berharga mahal untuk mengkafani jenazah ibunya. Pada malam harinya, anak lelaki itu bermimpi bertemu ibunya dalam keadaan marah. Ibunya itu berkata, “Aku tidak senang kepadamu karena kamu tidak mau melaksanakan wasiatku!!” Anaknya itu terbangun dalam keadaan ketakutan. Ia segera mengambil selimut bulu milik ibunya dan segera berangkat ke pemakaman dengan membawa cangkul (atau alat penggali). Ia terus menggali sampai kedalaman tertentu, tetapi ternyata ia tidak menemukan jenazah ibunya. Ia kebingungan sekaligus ketakutan, jangan-jangan ini akibat kesalahannya juga karena tidak melaksanakan wasiat ibunya. Tiba-tiba terdengar hatib (suara tanpa wujud) bergema di sekitarnya, “Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya orang yang berbakti kepada Kami dalam Bulan Rajab, tidak akan Kami biarkan sendirian!!”

Kisah Hikmah Islami Dari Hubbud Dunya Menjadi Ahlul Jannah

Kisah Hikmah Islami Dari Hubbud Dunya Menjadi Ahlul Jannah Suatu ketika Malik bin Dinar berjalan-jalan di Kota Bashrah dengan sahabatnya Abu Sulaiman (Ja’far). Mereka bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang mempersiapkan pembangunan sebuah gedung. Ia tampak memberikan perintah kepada tukang-tukangnya untuk mengerjakan ini dan itu. Malik bin Dinar berkata kepada Abu Sulaiman, “Lihatlah pemuda itu, alangkah tampan wajahnya, betapa rajinnya ia mengatur pembangunan itu. Aku ingin berdoa semoga Allah menyelamatkan pemuda itu, dan menjadikannya pemuda ahli surga!!” Kemudian mereka berdua menghampiri pemuda itu, dan mereka mengucap salam. Walau pemuda itu tidak mengenalnya secara khusus sebagai seorang ulama tasauf, tetapi ia bisa merasakan ‘aura’ kewibawaannya. Pemuda itu menjawab salamnya dan menyambutnya dengan ramah dan santun sambil menanyakan maksud kedatangannya. Malik bin Dinar berkata, “Berapakah perkiraan biaya yang engkau keluarkan untuk membangun gedung ini?” Pemuda itu berkata, “Seratus ribu dirham!!” Malik bin Dinar berkata, “Aku ingin memberikan penawaran kepadamu, serahkanlah seratus ribu dirham itu kepadaku, dan aku akan menempatkannya pada tempat yang seharusnya. Sebagai gantinya, aku akan menjamin bagimu di sisi Allah, sebuah gedung yang lebih indah daripada ini, lengkap dengan pelayan-pelayannya, kubah-kubahnya, kemah-kemahnya dari yaqut merah bertaburkan permata, tanahnya za’faran, semen (perekat)-nya misik, jauh lebih besar dan lebih luas dari rencana gedungmu itu, dan tidak akan rusak selamanya. Karena gedung itu terbangun dengan kalimat Allah ‘Kun’, maka terjadilah gedung itu!!” Sebuah penawaran yang sangat tidak masuk akal, tetapi tampaknya merasuk dalam pikiran pemuda itu. Apalagi ada ‘hawa’ kesalehan dan ketulusan dalam ucapan Malik bin Dinar itu. Pemuda itu tampak tercenung sebentar, kemudian ia berkata, “Berilah aku waktu semalam untuk memikirkannya, dan esok pagi sekali hendaknya tuan datang kembali ke sini!!” “Baiklah!!” Kata Malik bin Dinar. Semalaman itu Malik bin Dinar memikirkan pemuda itu, dan ketika waktu sahar (sebelum subuh, waktu yang afdhol untuk sahur) tiba, ia lebih banyak berdoa untuk pemuda tampan tersebut. Ketika matahari telah terbit, mereka berdua mendatangi pemuda tersebut, yang ternyata telah siap-siap menunggu kedatangannya. Setelah saling mengucap salam, pemuda itu berkata, “Apakah yang tuan katakan kemarin??” Malik bin Dinar mengulangi lagi ucapannya pada hari sebelumnya, setelah itu ia berkata, “Apakah kamu sanggup melaksanakannya??” Pemuda itu menyahut dengan cepat, “Ya!!” Kemudian ia menyerahkan beberapa kantong uang berisi seratus ribu dirham yang telah dipersiapkannya. Ia juga telah menyiapkan selembar kertas dan dawat (tinta) beserta penanya. Malik bin Dinar langsung menulis pada kertas tersebut, “Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ini surat jaminan dari Malik bin Dinar untuk Fulan bin Fulan. Sungguh saya (Malik bin Dinar) menjamin untukmu di sisi Allah, sebuah gedung sebagai ganti gedungmu itu, menurut sifat dan bentuk yang telah aku sebutkan sebelumnya, dan selebihnya dari itu terserah kepada Allah. Saya membeli untukmu dengan uangmu ini, sebuah gedung di surga yang lebih luas dan lebih indah daripada gedungmu itu, di bawah naungan yang sejuk, di sisi Tuhan Yang Maha Agung..!!” Surat itu dilipat dan diserahkan kepada pemuda itu, kemudian Malik bin Dinar dan Abu Sulaiman memikul uang itu, berjalan berkeliling Kota Bashrah membagi-bagikan uang itu kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya. Sore harinya, ketika tidak ada lagi dari mereka yang memerlukan uang itu, tersisa beberapa dirham yang hanya cukup untuk membeli makan malam sederhana bagi mereka berdua. Empatpuluh hari kemudian, usai shalat subuh di mihrabnya, Malik bin Dinar menemukan sebuah kertas terlipat. Setelah ia membukanya, terdapat tulisan yang tidak ditulis dengan dawat (tinta), “Ini bukti kekebasan dari Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana kepada Malik bin Dinar, dan Kami akan menepati jaminannya kepada pemuda itu, dengan gedung yang tujuhpuluh kali lipatnya dari apa yang ia sifatkan!!” Malik bin Dinar tercenung beberapa saat setelah membacanya, kemudian ia bergegas pergi ke rumah pemuda itu. Tampak pintunya tertutup dan terdengar tangisan di dalamnya. Salah seorang tetangga pemuda itu berkata kepada Malik, “Pemuda itu telah meninggal kemarin, dan kami telah memanggil seorang tukang memandikan ketika ia naza’ (sekarat)!!” Malik berkata, “Dimanakah rumah tukang memandikan itu?” Mereka mengantar Malik bin Dinar ke tempat tinggalnya. Setelah bertemu, Malik berkata kepadanya, “Coba engkau ceritakan kepadaku bagaimana keadaannya?” Tukang memandikan itu menceritakan kalau ia datang ketika pemuda itu sedang sekarat atau naza’. Sebelum kematiannya, ia sempat berkata kepadanya, “Jika aku telah mati dan engkau telah mengkafaninya, letakkanlah surat ini di dalam kafanku!!” Pemuda itu memberikan sebuah surat atau kertas terlipat, dan ia meletakkannya di antara tubuh dan kain kafan yang membungkusnya, kemudian ia menguburkannya. Sambil menunjukkan surat atau kertas terlipat yang ditemukan di mihrabnya subuh hari itu, Malik bin Dinar berkata, “Apakah surat ini!!” “Benar!!” Kata tukang memandikan itu sambil terheran-heran. Ia sangat yakin dan pasti kalau telah melaksanakan wasiat pemuda itu, dan menguburkan surat itu bersama jenazahnya. Tetapi mengapa surat itu ternyata ada di tangan Malik bin Dinar? Ia berkata, “Demi Allah yang telah mematikan pemuda itu, saya telah meletakkan surat itu di antara tubuh dan kafannya, kemudian menguburkannya!!” Malik bin Dinar tampak sangat terharu dengan cerita itu, begitu juga dengan orang-orang di sekitarnya yang memang telah mengetahui kisah ‘pertukaran’ tersebut. Salah seorang pemuda mendekati Malik bin Dinar dan berkata, “Wahai Malik, terimalah dari aku duaratus ribu dinar, dan berikan jaminan untukku seperti pemuda itu!!” Penawaran yang diberikan pemuda ini jauh lebih banyak, daripada yang diminta pada pemuda yang telah meninggal itu. Dirham adalah uang perak, dan itupun hanya seratus ribu dirham, sedang dinar adalah uang emas, dan itu sebanyak duaratus ribu dinar. Tetapi Malik menyadari bahwa kemuliaan dan ketinggian derajad yang diterima pemuda yang telah meninggal itu bukanlah karena perannya dalam menyedekahkan uang yang sedianya akan dibuat membangun gedung itu. Tetapi lebih kepada sikap dan amalan pemuda itu sendiri dan juga kasih sayang dan kehendak Allah Menyadari hal itu, Malik bin Dinar berkata, “Jauh, jauh sekali yang seperti itu (maksudnya tidak mungkin akan terulang lagi), terjadilah apa yang telah terjadi, yang tertinggal juga telah tertinggal, dan Allah memberikan keputusan sesuka-Nya, sesuai kehendak-Nya sendiri!!”

Kisah Hikmah Islami Seorang Pendosa

Kisah Hikmah Islami Seorang Pendosa Pada masa Nabi Musa AS, ada seorang lelaki dari umat beliau yang seringkali melakukan maksiat, tetapi tidak lama setelah itu ia bertaubat kepada Allah. Sayangnya lelaki ini masih ‘terkalahkan’ dengan hawa nafsu dan angan-angannya sehingga ia selalu mengulangi maksiat-maksiatnya. Namun demikian kesadarannya selalu muncul dan ia kembali bertaubat kepada Allah. Hal seperti itu terus berulang-ulang dilakukannya hingga duapuluh tahun lamanya. Suatu ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa tentang lelaki itu, “Wahai Musa, katakanlah kepada hamba-Ku si fulan bahwa Aku murka kepadanya!!” Nabi Musa menyampaikan firman Allah tersebut kepadanya, dan ia jadi sangat bersedih. Dalam kekalutannya karena dimurkai Allah, ia lari ke tengah padang yang luas. Di sana ia berseru, “Ya Allah, sudah habiskah rahmat-Mu, ataukah maksiatku membahayakan diri-Mu? Ya Allah, sudah habiskah simpanan maghfirah (ampunan)-Mu, ataukah Engkau telah kikir dengan hamba-hamba-Mu yang berdosa, dosa manakah yang lebih besar daripada ampunan-Mu? Ya Allah, kemuliaan ada di antara sifat-sifat-Mu yang qadim (telah ada sejak awal dan selalu ada, tidak akan pernah berakhir), sedangkan kehinaan ada di antara sifat-sifatku yang hadist (baru, diadakan/diciptakan dan akan berakhir), bagaimana bisa sifatku mengalahkan sifat-sifat-Mu? Ya Allah, apabila telah Engkau halangi hamba-Mu dari rahmat kasih-Mu, maka kepada siapa lagi mereka akan mengharapkan? Apabila Engkau telah menolak mereka, maka kepada siapa lagi mereka akan mengadu? Ya Allah, kalau memang rahmat-Mu telah habis, dan tidak ada jalan lagi kecuali dengan menyiksa aku, maka pikulkanlah kepadaku semua siksaan yang akan Engkau timpakan kepada semua hamba-hamba-Mu, aku ingin menebus mereka dengan diriku!!” Tidak ada yang diucapkannya dalam pelarian dan penyendiriannya di padang luas itu, kecuali kalimat-kalimat dalam seruan/munajatnya tersebut. Ia diliputi dengan penyesalan sehingga terlupa, tidak pernah lagi, atau tidak sempat lagi berbuat maksiat. Setelah berlalu beberapa waktu lamanya, Allah berfirman kepada Nabi Musa, “Hai Musa, pergilah engkau kepada hamba-Ku si fulan di padang sana, dan katakan kepadanya : Seandainya dosamu memenuhi bumi, Aku akan tetap melimpahkan ampunan kepadamu, setelah engkau mengenali-Ku dengan kekuasaan-Ku yang sempurna, ampunan dan rahmat-Ku yang tiada batasnya!!” Memang, semua pertanyaan atau pernyataan dalam munajatnya tersebut, jawabannya adalah tidak atau tidak ada, dan itu benar-benar diketahuinya, dan ia sangat meyakini kebenaran itu. Inilah suatu tingkat ma’rifat (pengenalan) kepada Allah yang dicapainya ketika ia ‘tenggelam’ dalam penyesalan atas dosa-dosanya, yang sedikit atau banyak berperan juga dalam mengundang ampunan Allah. Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW pernah menyabdakan, bahwa tidak ada suatu suara yang lebih dicintai Allah daripada suara seorang hamba yang berdosa, kemudian bertaubat, dan ia sangat sering menyeru atau menyebut nama-Nya, “Ya Allah, ya Allah,…ya Tuhanku, ya Tuhanku (ya Rabbii, ya Rabbii)!!” Maka Allah akan menjawab seruannya, walau hamba itu sendiri tidak mendengar-Nya, “Ya, ya, (labbaik, labbaik) wahai hamba-Ku, mintalah yang engkau kehendaki, engkau di sisi-Ku seperti sebagian malaikat-malaikat-Ku, Aku berada di sisi kananmu, di sisi kirimu, di atasmu dan sangat dekat dengan isi harimu!! Wahai para malaikat-Ku, saksikanlah, sesungguhnya Aku telah mengampuninya!!” Dalam kesempatan lainnya, Nabi SAW juga bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang melakukan suatu dosa, kemudian ia masuk surga dengan sebab dosa itu!!” Para sahabat yang berkumpul di sekitar beliau tampak keheranan, dan salah satunya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana itu bisa terjadi??” Dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Karena yang terpampang di depan matanya hanyalah bertaubat dari dosa itu, dan ia terus saja berlari darinya (dari dosa itu) hingga akhirnya ia sampai di surga!!”

Kisah Hikmah Islami Kesibukan Malaikat Pada Bulan Ramadhan

Kisah Hikmah Islami Kesibukan Malaikat Pada Bulan Ramadhan Surga selalu dihias dan diberi harum-haruman dari tahun ke tahun karena masuknya bulan Ramadhan. Pada malam pertama Ramadhan itu, muncullah angin dari bawah Arsy yang disebut al Mutsirah. Karena hembusan al Mutsirah ini, daun-daunan dari pepohonan di surga bergoyang dan daun-daun pintunya bergerak, sehingga menimbulkan suatu rangkaian suara yang begitu indahnya. Tidak ada seorang atau mahluk apapun yang pernah mendengar suara seindah suara itu, sehingga hal itu menarik perhatian para bidadari yang bermata jeli. Mereka berdiri di tempat tinggi dan berkata, “Apakah ada orang-orang yang melamar kepada Allah, kemudian Allah akan mengawinkannya dengan kami??” Tidak ada jawaban dan penjelasan apapun, maka para bidadari itu bertanya kepada malaikat penjaga surga, “Wahai Malaikat Ridwan, malam apakah ini?” Malaikat Ridwan berkata, “Wahai para bidadari yang cantik jelita, malam ini adalah malam pertama Bulan Ramadhan!!” Para bidadari itu berdoa, “Ya Allah, berikanlah kepada kami suami-suami dari hamba-Mu pada bulan ini!!” Maka tidak ada seorangpun yang berpuasa di Bulan Ramadhan (dan diterima puasanya) kecuali Allah akan mengawinkannya dengan para bidadari itu, kelak di dalam kemah-kemah di surga. Kemudian terdengar seruan Firman Allah, “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Muhammad yang berpuasa pada bulan ini. Wahai Malik (Malaikat penjaga neraka), tutuplah pintu-pintu neraka untuk mereka yang berpuasa bulan ini. Wahai Jibril, turunlah ke bumi, kemudian ikatlah setan-setan yang jahat dengan rantai-rantai dan singkirkan mereka ke dasar lautan yang dalam, sehingga mereka tidak bisa merusak (mengganggu) puasa dari umat kekasih-Ku, Muhammad!!” Para malaikat itu dengan segera melaksanakan perintah Allah tersebut. Itulah sebabnya di dalam Bulan Ramadhan itu kebanyakan umat Islam sangat mudah untuk berbuat amal kebaikan. Suatu hal yang sangat sulit untuk diamalkan pada bulan-bulan lainnya. Gangguan setan (dari kalangan jin) dan hawa panas neraka untuk sementara ditiadakan, hawa sejuk surga yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah melimpah ruah membangkitkan semangat untuk terus beribadah kepada-Nya. Musuh yang harus dihadapi tinggal gangguan setan dalam bentuk manusia dan hawa nafsu, yang mereka itu juga telah dilemahkan dengan adanya kewajiban puasa. Pada riwayat lain disebutkan, pada malam pertama Bulan Ramadhan itu Allah berfirman, “Barang siapa yang mencintai-Ku maka Aku akan mencintainya, barang siapa yang mencari-Ku maka Aku akan mencarinya, dan barang siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya berkat kehormatan Bulan Ramadhan ini (dan puasa yang dijalankannya) !!” Kemudian Allah memerintahkan malaikat Kiramal Katibin (malaikat-malaikat pencatat amalan manusia) untuk mencatat amal kebaikan dari tiga kelompok orang-orang tersebut dan menggandakannya, serta memerintahkan untuk membiarkan (tidak mencatat) amal keburukannya, bahkan Allah juga menghapus dosa-dosa mereka yang terdahulu. Pada setiap malam dari Bulan Ramadhan itu, Allah akan berseru tiga kali, “Barang siapa yang memohon, maka Aku akan memenuhi permohonannya. Barang siapa yang kembali kepada-Ku (Taa-ibin, taubat) maka Aku akan menerimanya kembali (menerima taubatnya). Barang siapa yang memohon ampunan (maghfirah) atas dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya…!!” Pada malam yang ditetapkan Allah sebagai Lailatul Qadr, Allah memerintahkan Jibril dan rombongan besar malaikat untuk turun ke bumi. Jibril turun dengan membawa panji hijau yang kemudian diletakkan di punggung Ka’bah. Ia mempunyai 600 sayap, dua di antaranya tidak pernah dipergunakan kecuali pada Lailatul Qadr, yang bentangan dua sayapnya itu meliputi timur dan barat. Kemudian Jibril memerintahkan para malaikat yang mengikutinya untuk mendatangi umat Nabi Muhammad SAW. Mereka mengucapkan salam pada setiap orang yang sedang beribadah dengan duduk, berdiri dan berbaring, yang sedang shalat dan berdzikir, dan berbagai macam ibadah lainnya pada malam itu. Mereka menjabat tangan dan mengaminkan doa umat Nabi Muhammad SAW hingga terbit fajar. Ketika fajar telah muncul di ufuk timur, Jibril berkata, “Wahai para malaikat, kembali, kembali!!” Para malaikat itu tampaknya enggan untuk beranjak dari kaum muslimin yang sedang beribadah kepada Allah. Ada kekaguman dan keasyikan berada di tengah-tengah umat Nabi Muhammad SAW, yang di antara berbagai kelemahan dan keterbatasannya, berbagai dosa dan kelalaiannya, mereka tetap beribadah mendekatkan diri kepada Allah, tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Mendengar seruan Jibril untuk kembali, mereka berkata, “Wahai Jibril, apa yang diperbuat Allah untuk memenuhi permintaan (kebutuhan) orang-orang yang mukmin dari umat Nabi Muhammad ini?’ Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah melihat kepada mereka dengan pandangan penuh kasih sayang, memaafkan dan mengampuni mereka, kecuali empat macam manusia…!” Mereka berkata, “Siapakah empat macam orang itu?” Jibril berkata, “Orang-orang yang suka minum minuman keras (khamr, alkohol, narkoba dan sejenisnya), orang-orang yang durhaka kepada orang tuanya, orang-orang yang suka memutuskan hubungan silaturahmi, dan kaum musyahin!!” Para malaikat itu cukup puas dengan penjelasan Jibril dan mereka kembali naik ke langit, ke tempat dan cara ibadahnya masing-masing seperti semula. Ketika Nabi SAW menceritakan hal ini kepada para sahabat, salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah kaum musyahin itu?” Nabi SAW bersabda, “Orang yang suka memutuskan persaudaraan, yaitu orang yang tidak mau berbicara (karena perasaan marah, dendam dan sejenisnya) kepada saudaranya lebih dari tiga hari!!” Malam berakhirnya bulan Ramadhan, yakni saat buka puasa terakhir dan memasuki malam Idul Fitri, Allah menamakannya dengan Malam Hadiah (Lailatul Jaa-izah). Ketika fajar menyingsing, Allah memerintahkan para malaikat untuk turun dan menyebar ke seluruh penjuru negeri-negeri yang di dalamnya ada orang-orang yang berpuasa. Mereka berdiri di jalan-jalan dan berseru, dengan seruan yang didengar oleh seluruh mahluk kecuali jin dan manusia, “Wahai umat Muhammad, keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, yang memberikan rahmat begitu banyak dan mengampuni dosa yang besar!!” Ketika kaum muslimin keluar menuju tempat-tempat shalat Idul Fitri dilaksanakan, Allah berfirman kepada para malaikat, “Wahai para malaikat-Ku, apakah balasan bagi pekerja jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya??” Mereka berkata, “Ya Allah, balasannya adalah dibayarkan upah-upahnya!!” Allah berfirman, Wahai para malaikat, Aku persaksikan kepada kalian semua, bahwa balasan bagi mereka yang berpuasa di Bulan Ramadhan, dan shalat-shalat malam mereka adalah keridhaan dan ampunan-Ku!!”

Kisah Hikmah Islami Kisah Taubatnya Hasan Al Bashri

Kisah Hikmah Islami Kisah Taubatnya Hasan Al Bashri Imam Hasan Al Bashri adalah seorang ulama tasauf yang sangat zuhud dari kalangan tabi’in, yang lahir pada tahun 21 Hijriah, dua hari sebelum terbunuhnya khalifah Umar bin Khaththab dan meninggal tahun 110 Hijriah. Ia lahir, tumbuh dan tinggal di Kota Bashrah, sehingga dinisbahkan menjadi namanya al Bashri. Tidak kurang dari 370 orang sahabat, tujuhpuluh orang di antaranya adalah ahlul Badar, yang menjadi guru dan rujukan Hasan al Bashri dalam menuntut ilmu. Termasuk di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib, yang digelari Nabi SAW sebagai pintunya ilmu. Namun kisah taubatnya Hasan al Bashri termasuk unik dan memilukan. Sebelumnya, Hasan adalah seorang pemuda tampan yang hidup berkelimpahan harta. Ia selalu memakai pakaian yang indah-indah dan suka berkeliling kota untuk bersenang-senang. Suatu ketika ia melihat seorang wanita yang sangat cantik dan tubuh sangat memikat, Hasan berjalan di belakangnya dan mengikuti langkahnya kemanapun ia pergi. Tiba-tiba wanita itu berpaling kepada Hasan dan berkata, “Tidakkah engkau malu??” Hasan berkata, “Malu kepada siapa??” Wanita itu menjawab, “Malu kepada Zat yang Maha Mengetahui apa yang ada di balik pandangan matamu, dan apa yang tersimpan di dalam dadamu!!” Hasan sempat tertegun dengan perkataan wanita itu, yang rasanya menghunjam jauh ke dalam hatinya. Sempat terjadi pergolakan, tetapi kecantikan dan pesona wanita itu seolah membetot sukmanya, terutama dua matanya yang jeli memikat. Ia benar-benar jatuh hati dan tidak mampu rasanya untuk berpaling, karena itu ia terus mengikutinya. Ketika tiba di depan rumahnya, lagi-lagi wanita itu berpaling dan berkata, “Mengapa engkau mengikuti hingga ke sini??” Hasan berkata, “Aku terfitnah (tergoda) dengan keindahan dua matamu!!” Sesaat terdiam, kemudian wanita itu berkata, “Baiklah kalau begitu, duduklah sebentar, aku akan memenuhi apa yang engkau inginkan!!” Hati Hasan sangat gembira, dikiranya wanita itu juga jatuh hati kepadanya dan akan bersedia menjadi istrinya. Bagaimanapun juga ia seorang pemuda yang tampan dan kaya, sangat mungkin kalau wanita itu akan menerima cintanya. Tidak lama berselang, muncul pelayan wanita dengan membawa baki tertutup sebuah sapu tangan, yang langsung menyerahkannya kepada Hasan. Ia membuka sapu tangan itu, dan seketika wajahnya menjadi pucat pasi. Dua bola mata, dengan sedikit percikan darah tergeletak di atas baki itu. Pelayan wanita itu berkata, “Tuan puteri saya berpesan kepada tuan : Aku tidak menginginkan mata, yang menyebabkan fitnah bagi orang lain!!” Tubuh Hasan bergetar hebat penuh ketakutan, dan ia segera berlari pulang. Tubuhnya lunglai seolah tidak memiliki tulang belulang. Sambil memegang jenggotnya, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Oh, alangkah hinanya engkau, percuma saja engkau berjenggot, tetapi engkau jauh lebih hina daripada wanita itu!!” Semalaman itu Hasan hanya menangis penuh penyesalan dan bertaubat kepada Allah. Pagi harinya ia mendatangi rumah wanita itu untuk meminta maaf dan kehalalan dari dirinya. Tetapi rumah wanita itu dalam keadaan tertutup, dan terdengar tangisan dari dalamnya. Salah seorang tetangganya memberitahukan kalau wanita pemilik rumah itu telah meninggal. Hasan makin tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Tiga hari lamanya ia tidak keluar rumah, waktunya hanya berisi tangis penyesalan atas apa yang telah dilakukannya, dan bertaubat kepada Allah. Pada hari ketiga, ia bermimpi melihat wanita itu sedang duduk di surga. Hasan menghampirinya dan berkata, “Berilah aku maaf dan kehalalan atas apa yang aku lakukan!!” Wanita itu berkata, “Aku telah memaafkan dan menghalalkanmu, karena aku telah memperoleh kebaikan yang banyak dari Allah, dengan sebab dirimu!!” Hasan berkata lagi, “Berilah aku nasehat!!” Wanita itu berkata, “Ketika engkau dalam kesendirian (kesunyian), berdzikirlah kepada Allah Ta’ala. Ketika engkau berada di pagi dan sore hari, beristighfarlah dan bertaubatlah kepada Allah!!” Setelah terbangun dari mimpinya itu, hati Hasan menjadi lebih lega. Ia merubah total pola hidupnya selama ini. Semua harta yang dimilikinya disedekahkan di jalan Allah, ia hidup dalam keadaan zuhud dan selalu dalam ketaatan, memperdalam ilmu dari para sahabat Nabi SAW yang memang banyak yang tinggal di kota Bashrah.

Kisah Hikmah Islami Takut Yang Menyelamatkan

Kisah Hikmah Islami Takut Yang Menyelamatkan Ada seorang lelaki di masa yang lalu (masa sebelum Nabi SAW), ia diberi kelimpahan harta dan anak-anak. Tetapi ia sama sekali tidak pernah berbuat kebaikan walau tidak sampai kehilangan keimanannya kepada Allah. Ketika kematian hampir menjemputnya, ia baru menyadari betapa buruknya apa yang telah dilakukannya selama ini. Hampir tidak ada sedikitpun bekal kebaikan yang dimilikinya untuk memasuki alam barzah (kubur) dan alam akhirat. Didorong oleh rasa kekhawatirannya menghadap Allah tanpa sedikitpun amal kebaikan, ia memanggil anak-anaknya dan berkata, “Wahai anak-anakku, ayah macam apakah aku ini bagi kalian??” Mereka berkata, “Sebaik-baiknya ayah bagi kami!!” Ia berkata, “Sesungguhnya aku ini tidak sedikitpun menyimpan atau menanam kebaikan di sisi Allah. Kalau Allah menghendaki, pastilah Dia akan menimpakan suatu siksaan kepadaku, dengan siksaan yang tidak akan pernah ditimpakan kepada orang lain….” Sesaat lelaki itu terdiam, kemudian melanjutkan, “Aku ingin mengikat perjanjian dengan kalian, kalau aku telah meninggal, hendaklah kalian melaksanakan wasiatku, bagaimanapun juga keadaannya!!” Kemudian ia menjabat tangan anak-anaknya satu persatu dan meminta dengan tegas untuk melaksanakan pesan (wasiat)-nya. Ia berkata lagi, sebagai wasiat terakhir yang harus dilaksanakan anak-anaknya, “Perhatikanlah wasiatku ini, apabila aku telah mati, kumpulkanlah kayu bakar yang banyak, dan bakarlah jenazahku. Dan jika telah tinggal tulang-tulangnya, ambillah dan tumbuklah sampai halus seperti debu, dan tebarkanlah di atas sungai pada hari yang sangat panas dan berangin!!” Pada beberapa riwayat lainnya, “…tebarkanlah pada hari yang berangin di lautan!!” Wasiat yang sungguh ‘mengerikan’, dan tidak pantas untuk dilaksanakan, Tetapi karena mereka telah diikat dengan kuat oleh ayahnya dengan suatu perjanjian, maka mereka melaksanakan wasiat tersebut dengan sebaik-baiknya. Maka Allah memerintahkan bumi untuk mengumpulkan debu dari jenazah lelaki itu, dan dengan kalimat ‘kun’ Dia menghidupkan dan mendatangkan lelaki itu di hadirat-Nya, dan berfirman, “Wahai hamba-Ku, apakah yang mendorongmu berbuat seperti itu?” Lelaki itu berkata, “Wahai Tuhanku, aku melakukan semua itu karena aku takut kepada-Mu, takut Engkau akan memisahkanku dari-Mu!!” Dengan jawaban seperti itu, Allah melimpahkan rahmat kepadanya dan mengampuni semua dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Tentu saja ‘konsep’ penebusan diri, atau penistaan diri sendiri seperti itu sebagai ‘kaffarat’ atas dosa dan berbagai amal kejelekan yang dilakukan seseorang, tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Allah telah membukakan pintu taubat dan ampunan seluas-luasnya bagi kita, umat Rasulullah SAW. Bahkan seandainya telah meninggal dunia belum juga bertaubat, masih ada ‘kemungkinan’ dosa-dosa itu diampuni, asalkan bukan dosa syirik. Inilah salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Allah kepada Nabi SAW, yang berimbas kepada kita umat beliau. Tentu saja idealnya, kita harus segera bertaubat jika melakukan suatu dosa atau kesalahan, dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah, walau mungkin kita masih akan terjatuh juga pada dosa yang sama. Allah tidak akan pernah ‘bosan’ menerima taubat seorang hamba, kecuali jika hamba itu sendiri yang ‘bosan’ bertaubat dan putus asa dari rahmat Allah. Dan rasa takut kepada Allah, baik karena dosa-dosa yang dilakukannya, atau karena mengetahui dan melihat keagungan Allah, atau kegentaran menghadapi yaumul hisab, akan sangat mungkin mengundang kasih sayang dan maghfirah Allah, sebagaimana kisah di atas. Walahu A’lam.

Kisah Hikmah Islami Karena Mengabaikan Orang Fakir

Kisah Hikmah Islami Karena Mengabaikan Orang Fakir Ahmad bin Muhammad bin Husin al Jariri, atau lebih dikenal dengan nama kunyahnya saja Abu Muhammad al Jariri, adalah seorang ulama sufi yang tinggal di Baghdad. Ia hidup sezaman dengan tokoh sufi lainnya, Junaid al Baghdadi, bahkan menjadi sahabatnya. Ketika Junaid wafat, ia menduduki (menggantikan) maqam Junaid, yakni pemimpin atau sesepuh tokoh sufi lainnya pada masa itu. Ketika masih dalam perjalanan pencarian (suluk, tarikat, mengaji hakikat dll), ia pernah mengalami suatu peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan. Suatu ketika setelah shalat ashar berlalu, seorang pemuda masuk ke masjid di lokasi pondok (thariqah) Abu Muhammad al Jariri belajar. Wajah pemuda itu tampak pucat dan rambut terurai tidak beraturan tanpa memakai tutup kepala (kopiah, serban atau sejenisnya). Ia berwudhu kemudian shalat sunnah dua rakaat, setelah itu ia duduk dengan meletakkan kepalanya di antara (di atas) lututnya dan tangan ditangkupkan. Saat maghrib tiba, ia berjamaah dengan mereka setelah itu duduk lagi seperti sebelumnya. Tiba-tiba datang utusan Raja yang mengundang mereka untuk jamuan makan di tempat tinggalnya. Hal itu memang secara rutin dilakukan oleh sang Raja. Ketika teman-temannya berlalu untuk memenuhi undangan itu, ia sempat membangunkan sang pemuda dan berkata, “Apakah anda mau ikut bersama kami untuk makan-makan di tempat raja??” Pemuda itu mengangkat kepalanya dan berkata, “Saya tidak ingin ke istana raja, tetapi kalau anda tidak berkeberatan, bawakanlah untukku asidah (suatu nama makanan) yang hangat!!” Abu Muhammad mengabaikan permintaan pemuda itu. Dalam hati ia berkata, “Diajak baik-baik tidak mau, tetapi malah meminta dibawakan sesuatu!! Mungkin ia baru saja belajar tarikat dan belum mengetahui adab (tata krama, sopan santun) yang lazim berlaku!!” Ketika malam agak larut, barulah mereka pulang dari istana raja dalam keadaan kenyang. Ketika memasuki masjid di pondokannya, Abu Muhammad melihat pemuda itu masih dalam posisi yang sama ketika ditinggalkannya, mungkin tertidur. Abu Muhammad duduk di sajadahnya, tetapi belum ia berdzikir, rasa kantuk menguasai dirinya dan ia jatuh tertidur. Dalam tidurnya itu Abu Muhammad bermimpi, ia melihat suatu rombongan besar berlalu di hadapannya. Tiba-tiba ada seruan, “Itu adalah rombongan Rasulullah SAW beserta para Nabi dan Rasul!!” Mendengar seruan itu, ia segera berlari ke arah depan rombongan dan menemui Rasulullah SAW. Ia mengucap salam, tetapi Nabi SAW berpaling dari dirinya tanpa menjawab salamnya. Beberapa kali ia mengulang salamnya tetapi masih saja beliau berpaling. Abu Muhammad jadi gemetar ketakutan, dengan tergagap ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah dosa saya sehingga engkau berpaling dari saya??” Nabi SAW menatapnya dengan tajam dan berkata, “Seorang yang fakir dari umatku ingin sesuatu darimu, lalu engkau mengabaikannya!!” Abu Muhammad tersentak kaget dan terbangun dari tidurnya. Segera saja ia teringat kepada pemuda yang meminta dibawakan asidah itu. Ia segera ke tempat pemuda itu, tetapi ternyata tidak ada siapapun di sana. Ia mendengar suara pintu dibuka, yang ternyata adalah pemuda itu yang hendak keluar masjid. Ia segera mendekatinya dan berkata, “Wahai pemuda, sabarlah barang sejenak. Aku akan segera menyiapkan untukmu, apa yang engkau inginkan!!” Pemuda itu menoleh kepadanya dan berkata, “Jika seorang fakir menyampaikan keinginannya kepadamu, engkau tidak mau memenuhinya, kecuali setelah dimintakan oleh Nabi SAW dan seratus duapuluh empat ribu nabi-nabi lainnya. Kini aku tidak menghajatkan apa-apa lagi darimu!!” Pemuda itu melangkah keluar, meninggalkannya dalam keadaan terpana dengan kaki terpaku di tanah. Setelah peristiwa itu, Abu Muhammad tidak pernah mengabaikan orang lain, sesepele dan sefakir apapun keadaannya, karena takut ia akan diabaikan oleh Rasulullah SAW di yaumul makhsyar kelak.

Kisah Hikmah Islami Ketakutan Seorang Anak Kecil

Kisah Hikmah Islami Ketakutan Seorang Anak Kecil Ada seorang syaikh sedang berjalan-jalan di tepian sebuah sungai, ia melihat seorang anak kecil yang belum mencapai usia baligh, sedang berwudhu sambil menangis. Hal itu menarik perhatiannya, maka ia bertanya, “Wahai anak kecil, apa yang membuatmu menangis??” Anak itu berkata, “Wahai Tuan, aku sedang membaca Al Qur’an, hingga sampai pada firman Allah (yakni Surah at Tahrim ayat 6, yang artinya) : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Para penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya (kepada mereka). Wahai Tuan, setelah membaca ayat ini, aku sangat ketakutan kalau-kalau Allah akan memasukkan aku ke dalam neraka!!” Sang syaikh tersenyum bijak, dan berkata, “Wahai anak kecil, engkau seorang anak yang terjaga, maka janganlah kamu takut, engkau tidak patut masuk neraka!!” Tentu saja jawabannya itu didasari kenyataan yang dilihatnya, bahwa anak sekecil itu sedang berwudhu, membaca Al Qur’an, bahkan bisa menangis ketika menangkap makna ayat-ayat Al Qur’an. Tetapi mendengar jawaban sang syaikh, anak itu memandang dengan keheranan, dan berkata, “Wahai Tuan, bukankah engkau orang yang berakal sehat? Tidakkah engkau tahu, ketika manusia akan menyalakan api, ia akan membutuhkan kayu-kayu yang lebih kecil terlebih dahulu, baru kemudian kayu-kayu yang lebih besar!!” Jawaban dari logika anak kecil, yang mungkin belum banyak memperoleh pengajaran tentang ilmu-ilmu keislaman. Tetapi hal itu sangat menyentuh sang syaikh, ia menangis lebih keras daripada tangisan anak kecil itu, dan berkata, “Anak sekecil ini lebih takut kepada neraka, bagaimana dengan keadaan kami??”

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai